Kamis, 17 November 2011

SYAIR UNTUK UMI



Kamu nggak usah bersedih kalau aku pergi meniggalkan kalian semua, kalau kamu sedang keluar kota atau tidak di rumah jangan terburu-buru pulang, yang penting kamu jangan lupa untuk menggubah syair menjadi lagu, bukan aku yang minta lho kamu sendiri yang janji. Itu katanya ketika lebaran kemarin kami satu keluarga berkumpul.

Aku akan merasa bahagia di alam kematian, mendengarkan nyanyian yang kamu ciptakan. Tapi jangan yang norak. Mendengarnya, nanti aku nggak nyenyak tidur di dalam kubur. Bisa-bisa malah keliaran jadi leak atau kuntilanak.
"Rasanya umi lebih cocok jadi Si Manis Jembatan Ancol deh daripada kuntilanak," kakak perempuanku menyahut.

Ini membuat kami tertawa semua.

"Amit amit!" umi mengucap sambil mengetuk-ngetuk tonjolan lekuk jarinya ke permukaan lantai.

Jika berbincang mengenai janji-janji apa pun yang hendak kami berikan kepadanya, umi tak pernah mengingat-ingat. Mungkin karena tak terlalu mengharapkan. Tetapi terhadap janjiku untuk membuat puisi dan menggubahnya menjadi lagu, umi tak pernah lupa. Bahkan ditagih terus sampai akhir hayat. Itulah umi. Ia menyambut kematian dengan canda. Sepertinya ia ingin meninggal sambil tertawa. Dari perkataan-perkatan yang terlontar, aku tahu ia merasa telah menyelesaikan kewajiban menjalani kodrat sebagai perempuan, umi, dan istri, walaupun belum sempat melihat anaknya yang paling kecil ini menikah sehingga menjemput kematian.

Kemarin aku dengan abi mengantar umi sampai kerumah sakit, dan itupun hanya berjalan kaki, karena RS hanya sekitar 200 M dari rumah, tak ada firasat apa-apa, dijalanpun masih sempat bercanda, rawat inap, kaget mendengar berita itu. Karena umi anda harus di beri perawatan khusus maka dia harus di rawat inap. Biarlah untuk kebaikan umi batinku. Jam 11 malam aku pulang karena kakakku yang pertama dan ketiga udah di rumah sakit, dan kakakku sudah meluncur dari semarang menuju jogja, karena sudah kebiasaan mereka akan pulang bila abi, umi atau bahkan aku rawat inap. Jam 6 pagi sesudah menjalankan Sholat subuh, hp ku berdering dan di kabarkan umi dalam keadaan kritis, binggung bercampur sedih dengan cepat kulangkahkan kakiku ke RS.

Tapi Allah memberikan jawaban lain kepada do’a ku, mungkin ini jalan terbaik yang harus kami sekeluarga jalani, setelah di bacakan surat Yasin sampai ayat 44, oleh teman-teman pemuda masjid, umi menghembuskan nafas terakhirnya setelah koma sekitar 5 jam.

Umi maafkan anakmu ini yang tak bisa membahagiakanmu, dimana aku harus bersandar untuk mengeluarkan semua permasalahanku, dan siapa yang akan membuat aku tegar menjalani kerasnya kehidupan, serta siapa yang membimbingku untuk selalu ingat kepada sang Kholik.

Selesai dimandikan, kupandangi wajah Umi yang cerah, sedang pulas tidur sambil tersenyum. Memenuhi permintaannya, kubacakan syair-syair dalam berbagai bahasa yang Ibu mengerti, Jawa, dan indonesia dan satu syair indah berbahasa Arab, yang dilafalkan Umi pada waktu malam: Surat Yasin.

Selamat jalan, Umi. Pasti, akan kugubah sebuah lagu mengiringi melepas rindu saat engkau bertemu penciptamu.


Untuk Umi yang telah berpulang ke Rahmatullah 20 Oktober 2009
Dari anakmu M Indrawan Gustadilla Habib


"Terimakasih buat penulis yang sudah bersedia memberikan ceritanya, semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk penulis.. Amin... Ya Rabb,,,,"

Sumber: http://www.facebook.com/notes/kisah-hidup-penuh-perjuangan/syair-untuk-umi/174902022759

Tidak ada komentar:

Posting Komentar