Kamis, 17 November 2011

Pelajaran Berharga dari Pemulung Paku

Sabtu, 28 Februari 2010, setelah main futsal saya istirahat mengompres memar di lutut sambil nonton Avatar (The legend of Aang) dan acara lain. Sekitar pukul 09.40 WIB saya bermaksud menutu pintu dan bergegas ke kamar mandi. Sekilas di luar sana terlihat seorang ibu paruh baya di depan rumah. Ku perhatikan ia sedang mengamati sekelilingnya sambil tangan kanannya membawa sesuatu berbentuk kayu sekitar 40 cm panjangnya dan dibawahnya dipasangi benda berbentuk lingkaran. Saya pernah melihat orang yang mencari paku bekas dengan menggunakan magnet. Sepertinya ibu itu seorang pemulung paku bekas. Hatiku terketuk, merasa iba juga haru. Saya segera ke kamar mandi, sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Di dalam kamar mandi saya berharap semoga si ibu itu tidak pergi terlalu jauh dari depan rumahku. Selesai urusan di kamar mandi saya segera ke garasi. Ku buka-buka kardus tempat barang –barang bekas, siapa tahu ada sisa-sisa paku renovasi rumah minggu kemarin. Saya ingin sekali bersedekah beberapa paku. Aku sangat tersentuh dengan kegigihan orang seperti itu. Setelah saya ambil beberapa paku, saya segera keluar. Aha…alhamdulilllah si ibu itu maish di sekitar depan rumahku. Ku panggil ibu,


“Bu…bu….sini dulu “, Ibu itu menoleh ke arah saya.

“Ini ada paku bu”, kataku sambil mengangkat tangan yang sedang menggenggam paku.

Ibu itu mendekat dan membuka karungnya.

“Terimakasih mas”

“Iya bu, sama-sama”, jawabku.

Ibu itu membalikkan badan sambil menganggukkan kepala dan mengucapkan terimakasih. Ku anggukan kepala. Ku perhatikan ibu itu, dari topinya yang sudah usang, jilbab kecil sebatas leher yang sudah lusuh dan, baju hem panjang putih yang sudah luntur warnanya, celana panjang puntung. Tangan kirinya memegang paku di karung dan tangan kanannya memgang tongkat magnetik, begitu saya menamainya. Tongkat untuk mendeteksi dan mempelkan paku. Karena penasaran, akhirnya sebelum ibu itu berlalu jauh, langsung saja ku tanya,

“Ibu tinggal di mana, Bu?”

“Di Kalasan mas, tapi nda setiap hari ke sini mas, selang-seling”

“Wah jauh sekali bu, ke sini jalan kaki?”

“Nda mas, naik sepeda. Sepedanya tak titipin di kentungan”

“Oh di Pos Polisi itu Bu?”

“Bukan mas, di warung”

Saya terus bertanya penasaran ingin tahu banyak tentang ibu tadi.

“Oh , bukan mas, di jual ke pengumpul”.

“Sekilo berapa Bu?”

“Dua ribu dua ratus mas”.

“Sehari biasanya dapat berapa Bu?”

“Nda pasti mas, bisa 20 kilo, kadang 27 kilo seperti kemarin”

“Jadi rata-rata dua puluhan kilo perhari?”

“Iya mas, lumayan bisa untuk biayai anak sekolah”.

“oh…”, saya hanya ber oh..oh saja”

Kemudian ..

“Memang anak ibu sekolah di mana?”

“Yang satu di STM mas, kemudian satunya lagi kuliah di Universitas Kristen Duta Wacana, tuh yang dekat Bethtesda mas”,

“Oh ya..,” ku anggukan kepala.”

“Yang kuliah jurusan apa Bu?”

“Jurusan Akuntansi Manajemen mas, sekarang sudah semester sepuluh sudah mau selesai”.

Ku anggukan kepala, mungkin maksudnya Ibu itu jurusan Akuntansi.

“Sekarang nyambi apa itu mas, asisten gitu”

“Oh, asisten dosen Bu”.

“Iya mas”.

“Yang kuliah itu laki-laki Bu”, naluri suka tanyaku semakin dalam :)

“Bukan mas, perempuan, yang laki-laki yang di STM”

“Lho, anaknya ibu semuanya berapa?”

“Empat mas, yang dua sudah pada kerja, satu di Batam dan satunya buka bengkel”.

“Yang di Batam kuliah juga Bu?”

“Iya mas tapi hanya dua tahun”

“Jurusan apa Bu”

“Apa ya mas, pokoknya kerjanya di perkapalan gitu”.

“Oh mungkin di akademi maritim bu, D 2, dua tahun”.

“Kalau masnya bukan asli sini kan?”

“Bukan Bu, saya dari Jawa Barat, tapi sudah lama di Jogja, KTP juga sudah KTP Jogja Bu”.

“Kuliahnya di UGM mas”

“Iya Bu”

“Kalau yang kuliah di UGM pintar-pintar. Apalagi negeri biayanya murah ya mas. Kalau anak saya setiap mata kulaih bayar mas, tapi karena pintar dapat potongan. ”.

Saya merasa malu di bilang pintar.

“DI UGM juga bayar bu per SKS. Yang reguler itu lima puluh ribu per SKS, kalau SPP lima ratus ribu”.

“Dulu pernah ditawari ngambil jurusan apa ya, saya lupa. Pokoknya yang berhubungan dengan hukum”.

“Jurusan Hukum Bu?”, saya coba menebak.

“Tapi karena perempuan, jadi nda boleh sama saya. Takut banyak musuhnya.Kalau laki-laki sih nda apa-apa”

“Oh…”

“Wah hebat Ibu yah, kerja seperti ini bisa nguliahkan anak-anaknya. Kalau suami ibu kerjanya di mana?”

“Suami saya kerja di bangunan mas. Jadi tukang bangunan. Yah..kalau lagi ada kerjaan dapat uang, tapi kalau tidak ada ya nganggur. Oh ya saya ingat mas, di suruh kuliah di jurusan auditor”.

“Oh, auditor bu.”

“Tapi tidak boleh sama saya mas. Apalagi zaman sekarang cari orang yang jujur susah mas”.

“Tapi masih ada orang yang jujur Bu”

“Iya masih tapi paling satu banding sepuluh mas”.

“ Suami ibu proyek bangunan rumah bu ya. Jadi pendapatan ibu sehari berapa Bu?”. Saya terus bertanya semakin penasaran dengan ibu ini.

“Kalau kemarin dapat 27 kilo berarti sekitar lima puluh ribu lebih, tapi rata-rata dua puluh kiloan mas. Untuk biaya yang kuliah sehari sepuluh ribu buat bensin kan naik motor ke kampusnya, buat yang di STM sepuluh ribu buat naik bus. Kalau yang kuliah kan perempuan bisa lebih irit, lagi pula sudah dapat masukan dari honor asisten mas. Biar kerja seperti ini yang penting halal mas”

“Iya Bu, betul itu Bu”

“Saya takut kalau dapat rezeki tidak halal nanti berpengaruh ke anak saya”.

Ku perhatikan ibu itu sudah mau pergi, tapi karena saya tanya terus akhirnya belum juga beranjak dari tempatnya”

“Oh ya mas, saya terusan, terimakasih”

Setelah Ibu itu pergi satu dua langkah.

“Bu, kalau mau minum silahkan Bu”.

“Ya mas terimakasih”, menolak sambil membalikkan badan.

Sekitar dua langkah meninggalkan saya, aku tanya namanya

“Bu…Bu.. nama ibu siapa?”

“Juwariah mas, pokoknya kalau mau main ke sana gampang mas. Setelah Gapura Adisucipto, tidak jauh dari situ. Nanti belok ke sini, belok ke sana, (saya lupa arah yang Bu Juwairah jelaskan) tinggal tanya saja Bu Juwairah atau …(saya juga lupa nama anaknya yang disebut ibu itu).

“Ya terimakasih Bu”, jawabku.

Saya terus memperhatikan Bu Juwariah yang terus berjalan ke arah kebun di sebelah selatan rumah yang saya tempati, ku lihat ia melintasi alang-alang ke tempat sampah. Saya tertegun, termenung sejenak. Dadaku terasa tertohok. Betapa beratnya perjuangan Ibu Juwairah tadi untuk membiayai anak-anaknya. Ia rela berjibaku dengan panasnya matahari menjelang siang ini, mencari paku-paku bekas dari setiap jengkal tanah yang ia sisir. Ia rela bekerja sebagai pemulung yang sekilas orang melihatnya memandang rendah pekerjaan itu. Semua itu demi anak-anaknya. Saya kagum dengan dedikasi Bu Juwairah. Saya jadi ingat Orang tuaku, yang bekerja membanting tulang memeras keringat untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. Saya malu kepada diri sendiri, yang masih muda dan kuat tapi tidak sesemangat Bu Juwairah itu. Saya juga malu dan sedih belum bisa membalas jerih payah kedua orang tuaku. Alhamdulillah Ya Allah, Engkau beri hamba pelajaran pagi ini. Pelajaran yang mulia, yang tidak saya dapatkan di bangku kuliah.

Saya bergegas ke dalam rumah, tadinya saya merasa ngantuk dan lelah setelah futsal. Tapi rasa ngantuk itu hilang, segera kunyalakan komputerku dan ku tulis kisah berharga ini.

* Dilaog di atas tidak persis sama dengan dialog aslinya menyangkut kata, intonasi, dan lain sebagainya, karena saya kadang agak lupa dengan beberpa kata-katanya. Tapi inti ceritanya seperti itu.

Sumber: http://www.aminrasmin.com/2010/02/27/pelajaran-berharga-dari-pemulung-paku-bekas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar